Minggu, 22 Mei 2011

Pengobatan Menggunakan Barang Haram

Islam yang mengutamakan kesehatan dan pengobatan. Dalam setiap penyakit pasti Allah menurunkan obatnya. Kekayaan keilmuan pengobatan bahkan pernah menjadi bagian dari kejayaan Islam berabad-abad lalu. Diantaranya saat itu masyhur di kalangan ahli pengobatan Ibnu Kalada yang menyembuhkan Sa'ad bin Abi Waqash dari sakit kerasnya. Nabi sendiri bersanbda, "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan pada kalian."
Kemudian dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Thariq bin Suwaid Al Hadharami bahwa ia pernah bertanya, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya di negeri kami terdapat banyak anggur yang dijadikan minum (wine) kemudian kami meminumnya." Beliau menjawab, "Jangan!." Aku kembali mengulang pertanyaan, lalu aku menjelaskan bahwa kami biasa memberikannya sebagai obat untuk orang sakit. Beliau bersabda, "Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, melainkan penyakit."
Sementara dalam Sunan An-Nisa'i diceritakan, "Ada seorang dokter yang mencampurkan kodok ke dalam ramuan obatnya, sementara Rasulullah melihatnya. Maka Rasulullah melarang dokter itu membunuh kodok tersebut."
Berobat dengan sesuatu yang diharamkan adalah buruk, baik menurut akal maupun syari'at. Sementara menurut logika, Allah mengharamkan sesuatu itu pasti sesuatu yang jelek. Allah tidak pernah mengharamkan yang baik-baik untuk umat ini. 
Contohnya adalah bahaya keharaman khamr atau minuman keras. Majalah Medicine Internasional edisi 6 th 1989 menyatakan bahwa minuman keras dapat membangkitkan kanker tenggorokan. Disamping itu khamr dapat menyebabkan pendarahan di tenggorokan, pembengkakan pembuluh darah di pangkal tenggorokan, radang pankreas, wasir, dan lain-lainnya, yang adakalanya menyebabkan kematian. 
Berbagai penelitian juga menegaskan bahwa minuman beralkohol terhadap liver, fungsi seksual, menyebabkan berbagai penyakit pada wanita, gangguan sistem urine, pencernaan, sistem aliran darah, penrnafasan, kelenjar telinga dan kelamin, serta sistem metabolisme tubuh.
Allah mengharamkan sesuatu kepada umat ini tidak lain karena kejelekannya. Allah mengharamkan demi melindungi mereka juga dan menjaga jangan sampai memakannya. Maka tidak semestinya kalau sesuatu yang haram itu digunakan untuk mengobati penyakit dan sejenisnya, karena meskipun barang itu memiliki khasiat menghilangkan penyakit, namun pasti akan menimbulkan penyakit yang lebih parah lagi pada hati. Racun yang dikandung obat-obatan haram tersebut pasti diluar kemampuan hati dalam menetralisirnya. Artinya si pasien berusaha menghilangkan penyakit fisik dengan resiko penyakit hati. 
Dari sisi kajian psikologis, memperbolehkan pengobatan dengan barang-barang haram memiliki dampak negatif. Sesuatu yang diharamkan berarti harus dijauhi dan dihindari dengan segala cara. Menjadikannya sebagai obat berarti memberi motivasi untuk mencarinya. Dan itu jelas bertentangan dengan kaidah tujuan syari'at.
Pada prinsipnya, para fuqaha' berdasarkan hadist Rasulullah SAW menetapkan keharaman menggunakan benda-benda yang haram sebagai obat. Namun demikian, memang  tidak selamanya sesorang dapat berobat sesuai dengan ketentuan syara' tersebut. Dalam keadaan tertentu atau sangat terpaksa, seseorang memang diperbolehkan menggunakan benda haram tersebut sebagai obat. 
Hukum haram dalam penjelasan tulisan ini adalah untuk keadaan normal yang memungkinkan seseorang untuk berikhtiar melakukan pengobatan di luar barang-barang haram tersebut. Sementara jika dalam keadaan sangat darurat, Islam memiliki kebijaksaana dalam hal lain. Hukum keharusan dan keringanan (rukhsah) dalam fiqh Islam bagaikan dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam situasi normal, hukum keharusan mutlak harus diberlakukan dan tidak ada kompromi. Namun dalam keadaan darurat, maka hukum keringanan atau rukhsah-lah yang mutlak diberlakukan. 
Penggunaan khamr sebagai obat, menurut ulama Hanafiyah tidak boleh, sebab secara tegas Nabi melarangnya. Namun jika diyakini untuk kesembuhan suatu penyakit maka diperbolehkan. Jika seseorang tersumbat tenggorokannya, dan tidak menemukan air maka ia boleh minum khamr. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi'iyah berpendapat mengkonsumsi baran haram jika dalam keadaan terpaksa yang dapat mengancam keselamatan jiwa maka diperbolehkan. Seperti dalam kondisi dehidrasi dan yang ada khamr maka minum khamr diperbolehkan.
Mahmud Syaltut menyatakan menggunakan khamr dan benda haram lainnya sebagai obat diperbolehkan dengan 2 syarat, yaitu harus berdasarkan keterangan dari dokter muslim yang dapat dipercaya dan memang karena tidak ada obat lain serta cara memperolehnya tidak melanggar syara' dan tidak melebihi keperluan.
Pada kenyataannya, dalam kondisi normal obat-obatan haram amatlah berbahaya bagi otak yang merupakan sentral pikiran manusia menurut kalangan medis. Disini terkandung sebuah rahasia yang amat lembut berkaitan dengan substansi berbagai benda haram yang tidak bisa dijadikan sebagai obat. Karena salah satu kriteria obat adalah bahwa sesuatu yang akan dijadikan obat itu harus dapat diterima tubuh dan mengandung keberkahan dari Allah didalamnya.
Maka jika ada yang halal, kenapa harus yang haram??


Tidak ada komentar:

Posting Komentar